(Bagian Pertama)
Seorang guru Play Group dalam rapat harian
melaporkan pada kepala sekolah, “bu kepala, tolong dalam pertemuan orang
tua nanti, dibahas tentang hakikat pendidikan pra sekolah ya, terutama
difahamkan pada ibu-ibunya. Saya sering melihat salah seorang ibu yang
memaksa bahkan mencubit anaknya karena tidak mau terlibat dalam
pembelajaran dan asyik bermain balok.”
Seorang guru lain menambahkan,”iya bu,
sepertinya harus segera di jelaskan. Ada kasus lain lagi bu, ketika saya
menanyakan pada mama Arif kenapa Arif tidak bisa ikut tamasya minggu
depan, alasannya, karena Arif ikut les privat membaca dan matematika.”
Cerita di atas adalah sebuah realita di
sekitar kita. Bahkan mungkin sebenarnya lebih parah dari itu. Jika pada
cerita tersebut sepertinya kedua guru sudah memahami hakikat pendidikan
anak usia dini, bisa jadi pada kenyataannya masih banyak para pendidik
anak usia dini sendiri yang belum faham tentang hakikat pendidikan anak
usia dini. Terlebih lagi para orang tua yang tidak memiliki latar
belakang keilmuan tentang pendidikan anak usia dini. Kebanyakan mereka
terlalu memaksakan anaknya untuk ”belajar” sesuatu dengan metoda
konvensional yang diterapkan untuk orang dewasa saja sudah tidak efektif
lagi. Duduk, diam, dengarkan, tulis dan bacakan kembali, itulah yang
dikatakan sebagai belajar. Jika diterapkan pada orang dewasa mungkin
mereka mampu protes dan menuntut tehnik pembelajaran lain yang lebih
menarik. Tapi apa daya anak-anak, mereka tidak bisa melawan. Apalagi
dengan ancaman cubitan atau bahkan pululan.
Sebuah Teori Tabularasa memang
menyatakan bahwa anak-anak diibaratkan seperti kertas kosong yang bisa
diisi apapun. Ya, memang benar, demikian luar biasanya anak-anak,
sampai-sampai mereka bisa menghafal banyak hal di luar kepala. Dengan
asumsi tersebut, beramai-ramailah orang tua mengisi kertas kosong
tersebut. Dan akhirnya, anak-anak pun tumbuh seperti kertas berisi
berbagai ilmu yang kumpulannya bisa membentuk sebuah buku. Mungkin
terlihat tebal dan pintar. Tapi kaku dan pasif. Tak bisa bergerak dan
berbuat.
Bukan wahai para orang tua, mereka bukanlah
kertas. Mereka bukan pembelajar pasif. Tapi mereka pembelajar aktif.
Tahukah wahai para orang tua, banyak teori belajar lain yang lebih
moderen telah dilahirkan. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa anak
adalah pembelajar aktif. Setiap pori-pori tubuh mereka menyerap apa yang
mereka lihat, dengar, sentuh, dan apapun yang berinteraksi dengan
mereka. Hebatnya lagi, mereka menganalisis dari setiap interaksi mereka
dengan lingkungannya. Tapi sayang, kehebatan itu kita sia-siakan. Kita
patahkan dengan tehnik belajar yang tidak sesuai. Mereka kita bentuk,
bukan kita arahkan. Mereka kita isi, bukan kita fasilitasi. Strategi
belajar terbaik bagi mereka adalah adalah apa yang kita namakan dengan bermain. Bukan duduk, diam, dengarkan dan hafalkan.
Orang tua pasti bangga ketika anaknya yang
masih usia TK sudah bisa membaca dan berhitung. Orang tua pasti semakin
bangga ketika anaknya yang masih kecil itu bisa menghafal berbagai kosa
kata dalam bahasa Inggris. Orang tua pasti lebih bangga lagi jika
memiliki anak yang selalu menurut ketika di suruh duduk di meja belajar
menghafalkan segala sesuatu yang dianggap perlu. Mengikuti berbagai les
yang melelahkan. Tapi tahukah anda wahai para orang tua, bahwa kebanggaan anda, bahwa kebahagiaan anda sungguh membuat anak-anak anda menderita!
Orang tua pasti jengkel ketika ada anaknya yang
aktif bergerak, menaiki meja, memegangi benda yang menarik dan baru
dilihatnya, menggigit dan mengulumnya atau membongkar mainan yang baru
di beli. Orang tua pasti semakin jengkel ketika ada anaknya yang
menggambar tidak sesuai dengan perintah ibu gurunya. Orang tua pasti
sangat jengkel ketika ada anaknya yang terus menerus bertanya tentang
sesuatu yang dia lihat. Orang tua pasti lebih jengkel lagi ketika rumah
berantakan setelah anaknya dan teman-temannya bermain dokter-dokteran.
Orang tua pasti sangat lebih jengkel lagi ketika anaknya lebih asyik
bermain galah di lapangan atau sekedar bermain sepak bola dari pada
duduk di meja belajar dan membaca.Tapi tahukah anda wahai para orang tua bahwa seharusnya anda berbahagia karena anak anda bahagia dan karena kelak dia akan tumbuh menjadi individu yang kreatif dan cerdas. Karena sesungguhnya ketika dia sedang membuat anda jengkel, dia sedang belajar. Sebenar-benarnya makna belajar bagi dia.
Bersambung…………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar