Jumat, 17 Februari 2012

Tanamkan Nilai Kejujuran Sejak Dini

E-mail Print PDF
“Bunda kok gulanya dikembalikan,” kata sulungku mengomentari iklan yang diputar di kereta api saat perjalanan kami ke Jakarta. “Itu karena penjualnya mengurangi timbangan,” jawabku. “Maksudnya gimana Bunda,” tanyanya lagi. “Ibu tadi membeli gula 1 kg tapi setelah dicek ternyata beratnya tidak ada 1 kg, akhirnya si ibu yang membeli menegur dan mengembalikan kepada bapak penjualnya,” Aku menjelaskan pelan-pelan.
“Jadi maksudnya bapak penjualnya curang ya Bunda?” tanyanya kemudian. “Iya sayang, dan curang itu kan tidak boleh,” lanjutku. Ia diam sesaat dan kemudian. “Tapi uangnya bapak penjual lebih banyak ya Bunda,” katanya dengan tersenyum ragu-ragu. Sambil tersenyum sambil berkata “Iya sayang, tapi itu merugikan orang lain, dan Allah tidak ridho karena itu termasuk perbuatan dholim nanti rezeki uangnya juga tidak diberkahi Allah.” Akhirnya sepanjang perjalanan kita memperbincangkan tentang sikap curang dalam banyak kegiatan yang dilakukan. Hingga sambil tersenyum malu. “Kalau Kakak curang berarti tidak diberkahi Allah ya Bunda, padahal Bunda mau tahu nggak Kakak terkadang curang juga….,” ujarnya dan belum sempat aku menjawab “Eit…Bunda nggak boleh marah kan Kakak sudah jujur,” tambahnya lagi. Aku hanya tersenyum sambil mengusap kepala dan mengacak-acak rambutnya.

Seringkah Ananda menanyakan apa yang mereka lihat kepada kita? Terkadang tanpa kita sadari ada banyak pelajaran yang bisa kita sampaikan saat Ananda menanyakan hal tersebut. Dan kondisi seperti ini merupakan moment yang tepat untuk memasukkan nilai-nilai kehidupan kepada Ananda. Demikian pula halnya terkadang ada tayangan yang bisa membantu kita untuk menanamkan nilai kehidupan yaitu tidak boleh bersikap curang.

Sikap curang dalam kehidupan sehari-hari dapat kita temui dalam berbagai situasi dan kondisi. Di antaranya tidak jarang kita temui sebagian pedagang mengurangi takaran atau timbangan dari barang yang dijualnya. Ataupun ada kondisi yang cacat dari barang dagangan tetapi tidak disampaikan terlebih dahulu kepada pembeli dan justru berusaha untuk menutupi kecacatan barang tersebut.

Demikian pula berbagai bentuk sikap curang terkadang kita temui di saat Ananda bermain, berbagi mainan atau makanan, mengerjakan atau mengumpulkan tugas dan lain-lain. Bahkan di antara sikap ini terkadang sudah dianggap biasa atau lumrah karena mungkin orang dewasa menganggapnya hal yang wajar terjadi pada anak-anak.

Sebagai contoh adalah sikap menyontek saat ulangan atau ujian. Bagi sebagian orang menyontek adalah hal yang biasa atau dianggap sebuah kesalahan yang kecil. Padahal banyak akibat negatif yang ditimbulkan dari kebiasaan ini. Semisal Ananda menjadi tidak serius dalam belajar karena berfikir “Ngapain belajar toh nanti bisa nyontek atau bertanya kepada teman saja”. Sehingga yang difikirkan  adalah strategi bagaimana mengecoh guru atau pengawas dan bukan berusaha berlatih dan belajar. Hal negatif lain yang ditimbulkan adalah Ananda akan terbiasa dan merasa ringan serta tidak bersalah ketika melakukan kecurangan.

Ayah Bunda terkadang berlaku curang seolah memang menguntungkan.  Saat Ananda memperoleh nilai bagus dengan menyontek terkadang mereka lupa bahwa itu bukan nilai yang sebenarnya. Andai mereka  mendapatkan nilai 9 dengan menyontek bisa jadi nilai sebenarnya 7 karena 2 point yang lain ia peroleh dari menyontek dan bertanya kepada temannya.

Keuntungan yang sifatnya sesaat inilah yang terkadang membuat kita maupun Ananda terlena. Dan yang lebih penting dari semua itu adalah kita seolah lupa bahwa Allah Maha Melihat dan tidak tidur serta akan mencatat setiap apa yang kita lakukan dengan detail.

Oleh karenanya menjadi sesuatu yang penting adalah menanamkan sikap dan berperilaku dengan jujur kepada Ananda sedari kecil. Sekecil apapun itu yang namanya berbuat curang akan berakibat negatif. Banyak alasan dan penjelasan yang bisa kita sampaikan kepada Ananda.

Mungkin Ananda akan berfikir kenapa aku harus bersusah-susah padahal ada cara yang lebih mudah dan dapat menghasilkan dengan lebih baik. Oleh karenanya diperlukan alasan yang bijak dan mudah dimengerti oleh mereka. Hal lain yang bisa kita sampaikan adalah bahwa tentunya kita hidup tidak hanya mencari nilai yang terukur di dunia saja. Karena masih ada kehidupan yang kekal dan abadi di akherat nanti.
Wallahu a’lam bishowab




Tidak ada komentar:

Posting Komentar