Rubrik:
Pendidikan Anak |
Oleh:
M Husnaini - 14/02/13 | 11:30 | 02 Rabbi al-Thanni 1434 H
- 1698 hits
dakwatuna.com - Dua
ibu muda bertengkar hebat di depan sebuah sekolah taman kanak-kanak.
Perang mulut yang berlanjut adu otot itu bermula ketika anak-anak mereka
bermain lempar-lemparan tas, yang menyebabkan salah satunya menangis.
Seorang
ibu yang kepala anaknya sedikit benjol akibat lemparan tas berisi buku
itu merasa tidak terima. Dia lalu mengumpat ibu dari anak pemilik tas.
Adu mulut terjadi. Umpatan berbalas umpatan, hingga emosi kedua belah
pihak meledak. Kini, pertengkaran kecil antar anak berganti perang antar
orangtua.
Kasus serupa, meski tidak selalu sama, boleh jadi bukan
kali pertama terjadi. Kerap kali kita jumpai perselisihan antar
orangtua dipicu oleh persoalan anak. Ironisnya, perselisihan antar
orangtua tua itu berbuntut perang dingin dalam kurun lama. Masing-masing
pihak enggan saling menyadari kesalahan. Hubungan harmonis antar sesama
pun menguap entah ke mana.
Sebenarnya, jika kita mau sedikit
berpikir dewasa, hal demikian sangat disayangkan terjadi. Pertengkaran
antar anak sesungguhnya adalah hal wajar. Tidak usah terlalu
didramatisasi, sehingga membuat keadaan semakin keruh. Sayang, tampaknya
tidak semua orang dewasa mampu berpikir secara dewasa pula.
Dalam
hal ini, kita patut belajar pada anak-anak. Meski sempat bertengkar,
semenit kemudian, mereka kembali akur. Setelah menangis sebentar akibat
rebutan mainan, misalnya, anak-anak kembali tertawa bersama.
Pertengkaran mereka tidak pernah berlangsung dalam hitungan hari,
apalagi bulan. Justru orangtua mereka yang sibuk dengan ego
masing-masing, sehingga sukar untuk kembali akur. Bahkan, sekadar
tegur-sapa pun enggan.
Sebagai orangtua, kita semestinya bisa
bersikap lebih cerdas dan bijak. Ketika melihat anak-anak bertengkar
atau saling mengolok-olok, ini seharusnya bisa kita jadikan pintu masuk
untuk memberikan pendidikan hidup bersosial. Orangtua harus memberikan
pemahaman kepada anak-anak tentang cara mengelola konflik.
Dalam
hidup bermasyarakat, konflik sosial mustahil dihindari. Kepada
anak-anak, penting ditanamkan budaya saling mengalah dan menghargai
sesama. Tidak sepantasnya orangtua menjadi setan yang mengadu domba
dengan menyalahkan si teman, apalagi di depan anak.
Jika itu
terjadi, berarti orangtua secara tidak sadar telah menanamkan
bibit-bibit egoisme dan arogansi dalam jiwa anak. Ini berbahaya. Apalagi
demi membela anak sendiri, yang belum jelas salah-benarnya, kita tidak
ragu untuk bertengkar sesama orangtua.
Dari situ anak akan belajar
tentang cara-cara penyelesaian masalah. Anak akan menyangka bahwa jalan
keluar dari segala masalah adalah dengan jalan bertengkar, atau bila
perlu beradu fisik. Inilah teladan yang menyesatkan.
Orangtua
harus lebih banyak belajar tentang pola pendidikan anak. Jangan sampai,
atas dasar rasa sayang, pola pendidikan kita justru menyesatkan jiwa
anak. Bukankah sudah banyak kita jumpai orangtua yang merelakan anaknya
putus sekolah dengan alasan sayang karena sang anak sudah tidak betah
dengan sekolah?
Tidak jarang pula ada orangtua yang
sendiko dawuh
atas segala permintaan anak, meski permintaan itu jauh dari nilai-nilai
pendidikan. Yang lebih fatal lagi, masih ada orangtua yang mengizinkan
anaknya merokok karena merasa kasihan akibat sang anak sudah ketagihan.
Dan ketika anak bersangkutan dihukum oleh sekolah, orangtua tidak
segan-segan mendatangi dan menyalahkan pihak sekolah sembari berdalih
bahwa anaknya itu merokok karena sudah mengantongi izin darinya. Luar
biasa.
Maka jangan heran jika nilai-nilai kesopanan sudah semakin
menjauh dari kehidupan anak. Tidak sedikit anak zaman sekarang yang
sudah berani abai, bahkan melawan peraturan guru dan sekolah.
Nilai-nilai tata krama tidak lagi menjadi urusan yang harus diindahkan.
Sikap demikian semakin memperoleh pembenaran ketika mereka merasa
mendapat dukungan dan pembelaan dari orangtua.
Akhirnya, mari kita
segera mengupas diri. Sudahkah pola kasih sayang kita kepada anak-anak
membuahkan nilai-nilai pendidikan, atau justru sebaliknya, melemparkan
mereka ke jurang kehancuran?