Minggu, 08 Desember 2013

Kristenisasi Merambah Anak TK

Diposkan oleh Gresia Divi pada Kamis, 25 April 2013 | 20.00 WIB


Hampir setiap hari selalu ada berita tentang mualaf. Sebaliknya, kita juga sering mendengar berita tentang kristenisasi yang semakin marak dengan berbagai macam model. Bahkan, kristenisasi sekarang sudah mengincar anak-anak TK. Seperti yang kudapati pada seorang anak didikku...

Hari itu, di tengah keasyikannya bermain dengan teman-temannya, aku terkaget-kaget melihat stiker yang tiba-tiba dikeluarkan dan dengan bangga ditunjukkan padaku dan teman-temannya. Betapa kagetnya diriku, seluruh sticker yang ia bawa adalah gambar-gambar Kristiani seperti salib, gereja, bunda Maria, dan sejenisnya. Tempat didik kami yang notabene adalah berbasis keislaman jelas sangat bertentangan dengan hal itu.

Sekonyong-konyong aku langsung memutar otak di saat yang mendesak itu untuk mencari cara menjelaskan pada anak-anak dengan cara yang sebijak mungkin karena teman-temannya yang lain sudah antusias dengan stiker tersebut. Alhamdulillah, dengan penjelasan dan diskusi ringan dengan mereka, akhirnya mereka bisa mengerti dan stiker itu pun mereka serahkan padaku. Sebagai gantinya, aku kemudian membelikan mereka stiker yang bernuansa Islam. Pyuhfffff... anak-anakku...

Selidik punya selidik, ternyata stiker tersebut ia dapat dari neneknya. Agar lebih jelas, aku segera mengklarifikasi orang tuanya. Dari mereka, aku mendapatkan penjelasan bahwa saat ia jalan-jalan bersama neneknya suatu waktu, anak didikku itu meminta dibelikan stiker tersebut. Si nenek tanpa pikir panjang membelikannya tanpa melihat apakah itu sesuai atau tidak untuk cucunya.

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kejadian tersebut baik oleh pihak orang tua maupun aku sendiri sebagai seorang pendidik. Bagi orang tua, tidak terkecuali nenek kakek atau saudara, hendaklah benar-benar selektif dalam memberikan mainan ataupun permainan (game) pada anak karena anak-anak adalah 'imitate' yang handal dan sangat mudah untuk didoktrin. Jadi apa mereka kelak, itu pun sangat tergantung pada pembentukan kita terhadap mereka sejak dini, di masa usia dini yang merupakan 'golden age' mereka.

Untuk para pendidik, pemberian informasi yang ringan dan logis bagi anak tentang adanya bermacam-macam agama, ciri-ciri, kebiasaan, dan alasan mengapa ada banyak agama juga sangat penting bagi mereka. Jika kita hanya menanamkan pada mereka untuk cinta Islam tapi tidak memberikan gambaran yang lain bahwa ada agama lain selain Islam hanya akan membuat mereka tidak tahu dan iya-iya saja saat menerima hal baru apalagi menarik bagi mereka. Bahkan, yang dikhawatirkan jika kita memaksa anak untuk cinta Islam dengan mencekoki mereka dengan apa itu syahadat, rukun Islam, rukun iman, shalat, dan lain-lain tanpa mereka tahu mengapa harus melakukannya, bahkan yang lebih parah jika mereka tidak mengerti apa sih Islam itu.

Tanpa kita sadar seringkali kita (para guru dan orang tua) mengajari mereka tentang Islam dan seabrek yang lainnya dan kita sudah puas jika mereka mau melakukannya. Tapi bisa jadi mereka mau melakukannya karena 'imitate' yang tinggi pada mereka atau “takut”. Mereka belum tentu tahu alasan mengapa harus melakukan semua itu.

Tapi, apapun itu bentuknya yang paling penting adalah jangan panik, karena kepanikan kita terkadang justru membuat kita terlalu keras pada mereka hingga memberikan putusan yang mereka tidak mengerti, 'nurut' begitu saja. Semua perubahan dan perkembangan yang terjadi pada anak itu wajar dan itulah proses. Tergantung bagaimana kita –guru, orang tua, dan orang-orang di sekitar mereka– menyikapi setiap perkembangan mereka. [Gresia Divi]

Bunda, Beginilah Tahapan Bermain Anak Kita

Diposkan oleh Gresia Divi pada Selasa, 02 April 2013 | 06.00 WIB


Bermain adalah hal yang sangat menyenangkan bagi anak-anak. Tapi seringkali para orang tua tidak tahu bermain seperti apa yang sesuai tahap perkembangan anak-anak, sekaligus disenangi oleh mereka.

Ada empat tahapan bermain anak yaitu sensori, bermain dengan alat, bermain peran, dan bermain kerjasama. Pada bermain sensori anak diajak bermain pada hal-hal yang dapat menstimulus sensori mereka, seperti bermain air, pasir, dan sejenisnya. Tetapi, fakta berkata lain. Banyak orang tua yang tidak mengetahui akan pentingnya tahap bermain ini sehingga mereka melarang anak-anak untuk bermain pasir atau air dengan alasan kotor. Padahal di situlah waktu mereka distimulus sensori tangan, kaki, dan organ sensori lainnya untuk lebih peka. Jika tahap ini tidak dituntaskan dengan baik, kelak ketika dewasa akan membawa kerugian bagi dirinya dan orang lain.

Mengapa? Karena anak yang sensori motoriknya belum tuntas di usia 2 tahun akan cenderung tidak mudah mengolah emosi dan agresif sekalipun mereka pintar. Bagaimana cara mengetahui tingkat ketuntasan anak dalam tahap bermain sensori ini? Hal ini bisa dideteksi saat anak bermain pasir. Jika mereka bermainnya dengan berguling-guling atau pasirnya hanya “dicuil-cuil”, itu menandakan bahwa sensori motoriknya belum tuntas. Sedangkan anak yang sensori motoriknya sudah tuntas, biasanya akan membuat bangunan dari pasir itu atau sesuatu yang kreatif.

Kemudian untuk bermain dengan alat, kenapa hal ini dirasa perlu tidak lain agar anak belajar untuk menggunakan bermacam-macam peralatan sebagai persiapan hidup mereka kelak saat dewasa (Life Ready). Sebagai contoh, saat bermain mereka harus mengambil dan meletakkan alat pada tempatnya. Misalkan dalam sebuah nampan. Kenapa? Hal ini sebagai pembelajaran mereka jika kelak mereka harus bekerja sebagai dokter, perawat, atau yang lainnya yang membutuhkan ketelitian dan kerapian meletakkan alat. Bagaimana jadinya seorang perawat yang meracik obat jika obatnya saja tercampur atau tertukar tempatnya?

Tahap selanjutnya yaitu bermain peran. Nah, tahap ini juga tidak kalah penting. Anak bisa diajak untuk menjadi dokter-dokteran, keluarga-keluargaan, tamu-tamuan dan bermain peran sejenisnya. Namun pada dasarnya, secara alamiah ketika bertemu dengan teman-teman sebaya, anak secara otomatis melakukan permainan peran ini. Dengan bermain peran, anak-anak bisa diajak menjelaskan perasaan, sikap, tingkah laku dan nilai, dengan tujuan untuk menghayati perasaan, sudut pandang dan cara berfikir orang lain.

Dari situ anak akan belajar bagaimana seharusnya berbuat ketika berada pada posisi tertentu. Bagaimana menjamu tamu, misalnya. Bagaimana sulitnya menjadi seorang ibu, bagaimana harus berbelanja yang benar dan lain sebagainya.Memang penting? Penting sekali. Jangan sampai hal penting seperti ini baru mereka pelajari saat mereka sudah dewasa. Hal itu tidak akan menjadi suatu kebiasaan. Ingat kan pepatah: Bisa karena biasa.

Tahapan yang terakhir yaitu bermain kerjasama. Tahap ini juga sangat penting agar kalau sudah besar mereka bisa bekerja dalam kelompok dengan segala bentuk aturan yang mengikat dalam sebuah kerjasama. Mereka perlu tahu, bahkan perlu bisa, sejak dini.

Nah bunda, semoga kita bisa membersamai ananda bermain sesuai dengan tahapan bermain anak. Sehingga selain mereka enjoy, perkembangan emosi mereka juga terjaga.[Gresia Divi]

Bunda, Beginilah Tahapan Berbahasa Anak Kita

Diposkan oleh Gresia Divi pada Rabu, 27 Maret 2013 | 07.00 WIB


“Didiklah anak-anakmu, sesungguhnya mereka itu dijadikan untuk menghadapi zaman yang berbeda dari zamanmu kini”
(Ali bin Abi Thalib)

Menyadari apa yang dinasehatkan Ali bin Abi Thalib tersebut, banyak ulama dan psikolog Muslim yang menulis buku parenting untuk anak-anak di zaman modern ini. Salah satunya, Dr. Hassan Syamsi Basya dengan bukunya: Kaifa Turabbi Abna’aka fi Hadza az Zaman (Mendidik Anak Zaman Kita). Semangatnya adalah, bagaimana orangtua memperhatikan pendekatan yang lebih tepat; tanpa mengabaikan kondisi zaman yang akan dihadapi anak dan tantangannya.

Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan orang tua dalam mendidik putra-putrinya adalah tahapan berbahasa, khususnya bagi anak usia dini. Kita tak bisa lagi memakai cara ala kadarnya untuk menjamin anak-anak kita bisa berbahasa dengan baik. Padahal kecerdasan linguistik adalah kecerdasan yang sangat penting. Dengan kemampuan berbahasa yang benar, anak-anak bisa berkomunikasi dengan baik, berinteraksi, menyampaikan perasaan dan pendapatnya, serta mengembangkan kecerdasan lainnya. Bahkan, hampir seluruh ulama adalah orang yang cerdas dalam berbahasa.

Usia 0 – 1 tahun

Anak usia 3 bulan biasanya mereka bisa berceloteh seputar huruf “a”. Anak usia 3-6 bulan biasanya berceloteh seputar huruf “i”, “u”,dan “o”.

Anak usia 8 bulan celotehan mereka bertambah huruf “m” dan “b”. Biasanya mereka mengatakan “mamamamamama.....” atau “bbbbbbaaaabaaaa”.

Jika dalam usia tersebut anak belum bisa, tenang dulu jangan panik karena hal tersebut bisa diantisipasi dengan terus menstimulus mereka. Caranya bisa dengan mengajak mereka mengobrol (walau mereka belum bisa menjawab), membunyikan bunyi-bunyian, dan perlu diingat untuk tidak mengajak mereka berbicara dengan cepat. Hal ini tidak hanya berlaku bagi anak usia 0-1 tahun tapi sampai usia 5-6 tahun juga. Jika tidak percaya coba saja meminta tolong anak yang sudah faham untuk mengambil sesuatu dengan berbicara cepat dan bandingkan jika dengan berbicara perlahan dan teratur. Manakah yang lebih direspon anak?

Biasanya para orang tua yang anaknya belum bisa berbicara dengan fasih padahal sudah menginjak tahapannya itu dikarenakan orang tua yang tidak pernah mengajak anak berkomunikasi atau melakukannya tapi dengan intonasi cepat.

Usia 1-1,5 tahun
Usia ini merupakan masa holofrasis di mana anak umumnya menunjuk sambil mengucapkan apa yang dia mau.

Usia 2-3 tahun
Merupakan masa todler. Di usia ini yang ditekankan pada anak sebaiknya adalah mengenai bahasa lisan dan kemandirian serta belajar logika. Selain itu, di usia ini, anak dapat mengucapkan kalimat yang berfrase, seperti “minum susu” dan kalimat berfrase, seperti “Tono main bola” bukan seperti kalimat yang benar “Tono bermain bola”.

Usia 3 tahun ke atas
Di usia ini harusnya anak sudah dapat mengucapkan kalimat dengan morfologi yang lengkap, seperti “Aku mau pergi ke sekolah”. Selain itu, biasanya di usia ini terjadi efek trill dan efek mirror pada anak dan diharapkan para pendidik tidak panik jika hal ini terjadi. Pada efek trill, biasanya anak mengucapkan kata dari yang seharusnya diucapkan “surga” menjadi “sruga”, “terserah” menjadi “seterah”, “karpet” menjadi “kapret”. Sedangkan efek mirror biasanya terjadi pertukaran kata saat diucapkan, seperti kata yang seharusnya “kucing” menjadi “kicung”. Jika hal ini terjadi pada anak diharapkan para orang tua atau pendidik tidak malah membiarkannya atau bahkan membenarkan itu karena dianggap lucu atau wajarnya anak tapi hendaknya memberikan contoh bagaimana cara mengucapkan yang benar. Tentunya dengan telaten dan berulang-ulang.

Hal tak kalah penting yang harus dibiasakan pada anak adalah penggunaan bahasa dalam komunikasi sosial. Bagaimana menanamkan karakter dalam berbahasa sejak usia dini. Secara pragmatik, anak-anak idealnya sudah tuntas masalah aspek kebahasaan dalam komunikasi sosial ini pada usia 4 tahun dan paling lambat 5 tahun. Misalkan; salam, menyela (dengan mengatakan “permisi” atau “maaf”), meminta sesuatu (dengan mengatakan “tolong”), berterima kasih, dan meminta ijin.

Sering kita dapati orang tua yang permisif. Membiarkan anak dalam kekeliruan dengan alasan “masih kecil”, “wajar”, “biasanya begitu.” Padahal kalau kita berpikir “biasanya” hasilnya juga biasa-biasa saja. Pun dalam mendidik anak. Akhirnya tercetaklah anak-anak yang kurang “berbudi”, kurang “berkarakter.” Maka pembiasaan adalah hal yang sangat efektif dalam mendidik anak. Di samping pendekatan utama lainnya berupa keteladanan. Di mana orang tua menjadi teladan dengan selalu mencontohkan mengucapkan terima kasih ketika ditolong, meminta maaf ketika salah, salam ketika bertemu, berdoa sebelum dan sesudah melakukan sesuatu, dan seterusnya.

Semoga bahasan singkat tentang Tahapan Berbahasa Anak Usia Dini ini bermanfaat bagi para orang tua, khususnya bunda. [Gresia Divi]

Kitalah Teladan Mereka

Diposkan oleh ukhtu_emil pada Minggu, 08 Desember 2013 | 21.10 WIB

Siswi muslimah (ilustrasi dari Sindikasi)
“Ustadzah itu begini dan begitu...” kata itu tertulis pada sebuah kertas yang ditaruh di atas tempat tidur teman saya.

Sesaat setelah membaca tulisan itu, teman saya terduduk lemas. Tangannya gemetar. Air mata mulai menetes mengalir di sela-sela pipinya. Tak disangka, di mata anak-anak ia seperti itu. Ia kemudian menenangkan diri. Diambilnya air wudlu lalu melaksanakan shalat. Kebetulan waktu itu adzan berkumandang.

Setelah sholat ia hanya diam di kamarnya. Tak beranjak walau hanya untuk menengok santri-santrinya. Entah takut atau kalut masih menyelimuti hatinya. Setelah agak sedikit tenang dibacanya kembali surat kaleng itu. Ada satu kata yang begitu menancap di hatinya: “Ustadzah itu nyuruh kami melakukan ini dan itu, tapi ustadzah sendiri gak mau melakukannya!”

Kalimat itu seolah terucap berapi-api. Mencabik-cabik hatinya. Teringat kembali akan surat Ash-Shaff ayat 2-3 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Itu sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Ini hanyalah cerita singkat mengenai ekspresi seorang santri terhadap ustadzahnya. Ada banyak hal yang disampaikannya. Tapi dari surat itu saya mengambil kesimpulan, bahwa dalam benak santri tersebut ada pertanyaan yang selalu mengeglayuti hatinya, “Mengapa ustadzahku menyuruhku ini dan itu sedangkan beliau sendiri tidak melaksanakannya? Mengapa beliau membuat peraturan ini dan itu sedang beliau tidak mau melaksanakannya?”

Mungkin bagi anak-anak, terutama siswa SMP, hal ini terkesan tidak adil. Dan ini adalah sebuah tanda tanya besar, bagaimana anak-anak bisa mengerjakan kebaikan kalau kita sendiri tak mau melakukannya? Bagaimana anak-anak mau menuruti perintah kita kalau kita sendiri tidak mau mengerjakannya?

Saudaraku... Tentu ini sangat berkebalikan dengan metode mendidik Rasulullah. Dalam sabdanya yang driwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa yang mengatakan pada anak kecil, ‘kemarilah aku beri sesuatu’ namun dia tidak memberi, maka itu ada adalah sebuah kedustaan”.

Meski hal ini terkesan remeh, secara tidak langsung kita telah mengajarinya berbohong. Kita telah memberi iming-iming palsu sehingga timbullah kekecewaan yang akan membekas dalam ingatan anak tersebut. Yang suatu saat anak itu akan menirunya dengan mengatakan begini, “Aah dulu ibu pernah menjanjikan saya hadiah. Tapi ternyata bohong. Sekarang kalau aku bohong gak apa-apa kan? Kan ibu dulu juga pernah bohong”. Atau misalkan begini “Aah ustadzah saja pernah telat shalat. Jadi kalau kita telat sesekali juga ga apa-apa kan?”

Dalam buku Prophetic Parenting karya DR. Muhammad Nur Abdul Hafiz dijelaskan bahwa seorang anak akan selalu memperhatikan dan meneladani prilaku orang dewasa. Baik itu orang tuanya, saudaranya atau gurunya. Apabila mereka melihatnya berprilaku jujur, mereka akan tumbuh dalam kejujuran. Demikian seterusnya.

Orang dewasa (khususnya kedua orang tua dan guru) selalu dituntut menjadi suri teladan yang baik. Karena seorang anak yang berada di masa pertumbuhan selalu memperhatikan sikap dan ucapan orang tuanya. Dia juga bertanya sebab mereka berlaku demikian.

Selain itu dalam buku 100 Cara agar Anak Bahagia, Dr. Timothy menjelaskan bahwa anak-anak belajar dengan mengamati. Mereka memperhatikan dan menirukan tingkah laku kita. Untuk itu kita harus menjadi teladan yang baik bagi mereka. Apabila kita ingin kata-kata kita didengar oleh mereka.

Oleh karenanya, kalau dulu kita mengatkan “Lakukan sesuai kataku, bukan seperti perbuatanku” maka mari kita buang jauh-jauh kata-kata itu. Karena perbuatan jauh lebih menancap dari perkataan. Anak didik kita akan cenderung meniru perbuatan kita daripada apa yang kita katakan. Sehingga dari situ kita dapat berkaca “Sepeti apakah diri kita?”. Karena anak kita atau anak didik kita adalah cerminan diri kita.

Semoga ini menjadi bahan evaluasi bagi kita...

Wallahu a’lam bish shawab. [Ukhtu Emil]